KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit) adalah merupakan lembaga independen yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Terutama mempunyai fungsi dalam hal membimbing dan membantu rumah sakit (RS) dalam hal meningkatkan mutu pelayanan dan menjamin standar keselamatan pasien.

Setelah RS dianggap telah memenuhi standar tertentu dengan level tertentu, maka KARS akan memberikan sertifikat pengakuan berupa akreditasi, sehingga RS tersebut mendapat sebutan terakreditasi mulai dari yang paling rendah sampai paripurna.

Meskipun KARS adalah lembaga independen akan tetapi juga mendapatkan anggaran dari APBN, dengan demikian pengelolaannya haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah dan DPR R.I. Hal ini pula berarti KARS secara penuh masuk dalam radar pengawasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KARS tidak terlepas dari unsur utama pelayanan publik atau masyarakat, yaitu integritas, profesionalisme, akuntabilitas, komitmen dan "teamwork" serta yang tak kalah pentingnya adalah anti korupsi.

Dengan demikian peranan dan manfaat adanya KARS ini haruslah dirasakan secara penuh dan langsung oleh masyarakat sebagai obyek utama dalam pelayanannya. Begitu juga fungsi KARS ini tetaplah harus dalam koridor usernya, yaitu Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah.

Bagaimana jika ternyata, ada RS yang telah mendapat "bintang" oleh KARS malah melanggar aturan dan akhirnya ditutup oleh Pemerintah sendiri? Ini membuat tanda tanya besar dan perlu ditindaklanjuti, kalau perlu diselidiki. Semua unsur Pemerintah yang berwenang mulai dari Kementerian Kesehatan sebagai pengguna utamanya, haruslah segera mencari tahu kenapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana suatu RS yang telah mendapat "bintang" malah kemudian ditutup? Apakah ada yang belum layak namun tetap diberikan akreditasi ataukah pelanggaran ini terjadi setelah terakreditasi, kemudian lalai dalam pengawasan dan pembinaan? Apakah setelah terakreditasi kemudian KARS lepas tangan dan tak lagi membina RS yang sudah mendapat bintang darinya? Apakah juga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) R.I. tahu dan ikut bertanggungjawab?

Banyak sekali pertanyaan yang timbul, setelah sebuah RS yang mendapat "bintang utama" dari KARS ditutup oleh Pemerintah DKI Jakarta. Ya, RS tersebut notabene berada "satu halaman" dengan Kantor Pusat KARS dan Kemenkes R.I. itu sendiri yaitu di Ibukota Negara, Jakarta.

Kemenkes R.I. dan para Pengurus KARS, haruslah menjelaskan hal ini dengan terang. Jika memang Pemerintah DKI Jakarta secara sepihak dan tidak memiliki alasan kuat untuk menutup RS tersebut, maka Kemenkes R.I. dan KARS haruslah mengeluarkan surat protes resmi, kalau perlu dilakukan somasi hukum. Namun jika sebaliknya, ternyata Pemerintah DKI Jakarta telah memiliki alasan yang kuat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, lalu kenapa bukan KARS yang terlebih dahulu menegur, membina ataupun memberikan sangsi sebelum Pemerintah DKI Jakarta melakukannya.

Hal ini bukanlah masalah sepele. Jika memang alasan RS tersebut ditutup kuat, baik secara administrasi maupun hukum, lalu dimanakah peranan KARS? Kenapa bisa terjadi hal ini di Ibukota? Bagaimana lagi dengan RS-RS yang jauh dari Ibukota Negara bahkan di daerah-daerah? Apakah tidak akan dipertanyakan "bintang-bintang" yang telah mereka sandang dan ditempel di ruang utama RS tersebut?

Kemenkes tidak boleh berpangku tangan, harus segera menindaklanjuti hal ini. Jika Pemerintah DKI Jakarta yang keliru, maka segeralah dibela RS yang ditutup dan diminta untuk dibuka kembali. Hal ini berkaitan erat dengan para dokter, tenaga kesehatan dan pegawai RS tersebut yang kehilangan pekerjaannya. Bukankah mereka telah menjadi korban? Bukankah juga mereka adalah rakyat Indonesia? Belum lagi para pasien pengguna RS tersebut yang tentunya membutuhkan pelayanan kesehatan di daerah sekitar mereka.

Akan tetapi, jika ternyata Pemerintah DKI Jakarta benar. Maka ini akan menjadi efek "bola salju". Kenapa? Karena jika merujuk kepada tempat dan lokasi dimana RS tersebut berada dan ternyata telah mendapat akreditasi -yang sama-sama kita tahu- bahwa dalam prosesnya telah mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit. Bagaimana dengan RS-RS di sekitarnya ataupun di daerah lain? Bagaimanakah pengawasan dan pembinaan oleh KARS yang operasionalnya menggunakan APBN ini?

Semoga Kemenkes R.I. dan KARS dapat segera menjelaskannya, sehingga tidak merembet kepada adanya lembaga-lembaga yang tak efektif dan hanya memboroskan anggaran saja, malah menambah birokrasi dan yang paling berbahaya jika ada "bau permainan uang" di sini. Saya berharap tidak demikian atau tidak terjadi demikian, karena jika terjadi maka KPK tentunya harus turun tangan.

Semoga pelayanan publik yang prima dan paripurnalah yang kita berikan kepada rakyat Indonesia. Karena dengan mutu pelayanan kesehatan yang tinggi dan keselamatan pasien terjamin, maka akan meningkatkan juga derajat kesehatan rakyat dan bangsa kita Indonesia yang tercinta.

Majulah Indonesiaku!

Jaya-jayalah Bangsaku!

James Allan Rarung

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat

Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu

Artikel Terkait

  1. Surat Terbuka dari Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu untuk Indonesia lebih baik
  2. Surat Terbuka PDIB Untuk MPR RI Terkait Gerakan Dokter Bhineka Tunggal Ika
  3. KEPADA PRESIDEN JOKOWI: INDONESIA PERLU SEGERA MEMBENTUK BADAN NASIONAL KESEHATAN KELUARGA (BNKK)