Program kesehatan saat ini selalu berorientasi kepada institusi pelayanan kesehatan seperti klinik, puskesmas dan rumah sakit. Padahal paradigma kesehatan global telah bergeser dari sekedar mengobati penyakit, menjadi upaya pencegahan dan pengurangan faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan penyakit dan keadaan sakit. Bukan berarti pendirian infrastruktur institusi pelayanan kesehatan tersebut tidak perlu, akan tetapi akan jauh lebih efektif dan meminimalkan anggaran jika pendekatannya adalah pencegahan dan pemetaan faktor penyebab sakit tersebut.
Dengan kita melakukan tindakan pencegahan mulai dari penyakit menular maupun penyakit akibat konsumsi makanan atau produk makanan yang tidak tepat atau kurang sehat, maka kita dapat mengurangi risiko dan jumlah penderita yang jatuh sakit, mulai dari sakit ringan, sedang bahkan berat. Begitu juga kita perlu melakukan upaya kontrol terhadap lingkungan yang menyebabkan terkontaminasinya tubuh manusia maupun makanan yang ada di sekitar kita, misalnya sarana air bersih, polusi udara dan bahan-bahan kimia berbahaya.
Upaya-upaya tersebut di atas bukanlah belum dilakukan sama sekali, akan tetapi tindakan yang ada adalah tumpang tindihnya tugas dan koordinasi antar instansi maupun antar lembaga pemerintahan, termasuk sinkronisasi Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagai contoh misalnya usaha pelayanan kesehatan oleh pihak Kemenkes atau Dinkes pada suatu wilayah tidak diikuti oleh pengaturan limbah perusahaan di wilayah yang sama, hal ini akhirnya tidak menyelesaikan masalah melainkan akan menyebabkan lingkaran masalah yang tak terputus ("circulus vitiosus").
Belum lagi program-program penyusunan anggaran kesehatan melalui Kemenkes dalam APBN seringkali berorientasi pada program pengadaan alat kesehatan dan sosialisasi layanan kesehatan masyarakat. Program ini tentunya tidak keliru, namun seringkali bertubrukan bahkan tumpang tindih dengan program Pemerintah Daerah. Apalagi program tersebut terkadang malah sudah dilakukan oleh organisasi masyarakat ataupun lembaga swadaya masyarakat. Hal ini akhirnya akan menyebabkan perlambatan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan masyarakat tersebut.
Untuk melakukan lompatan pelayanan kesehatan yang tinggi, tidak ada cara lain yang lebih efektif selain merubah titik pandang atau fokus layanan kesehatan dari sudut pandang penyediaan sarana pelayanan kesehatan, kepada sudut pandang individu atau keluarga sebagai subyek kesehatan itu sendiri. Maksudnya adalah bukan lagi fokus kita menampung orang yang sakit di bangsal puskesmas atau RS, begitupun bukanlah kita mengumpulkan para anggota masyarakat pada balai-balai pertemuan atau ruang-ruang hotel untuk sosialisasi, akan tetapi kita langsung menuju kepada sasaran, yaitu kepada individu atau keluarga di tempat mereka tinggal.
Untuk hal tersebut, kita perlu membentuk tim atau kelompok-kelompok kerja yang datang dari rumah ke rumah (mirip petugas sensus) dan selanjutnya melihat kondisi tempat tinggal serta lingkungan di sekitarnya, sekaligus kita mengambil informasi apakah ada masalah-masalah yang dapat menyebabkan penyakit atau keadaan sakit. Jika kita menemukan masalah dan dapat kita langsung atasi dengan pelayanan dasar, maka segeralah kita lakukan. Kalau tidak bisa, maka kita harus membawa atau mengajak anggota keluarga tersebut (membuat dan memberikan akses) kepada pusat-pusat layanan kesehatan yang tentunya sudah dijamin oleh pemerintah melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tim tersebut tidak perlu terlalu banyak, cukup 2 orang saja yang sekali jalan pada setiap kelurahan atau desa, tentunya ini relatif tergantung luas wilayah dan jumlah penduduk (hal ini mirip dengan 2 orang polisi yang berpasangan, berpatroli di setiap sudut dan blok kota seperti terlihat di Hongkong dan Kuala Lumpur). Sehari mereka bisa berjalan pada 20-30 kepala keluarga (KK), maka dalam sebulan mereka bisa mengunjungi sekitar 400-600 KK. Bayangkan kalau tim ini lebih dari satu dalam satu kelurahan dan dirotasi, maka satu KK akan mendapat kunjungan ulangan setiap seminggu sekali. Jika ini dilakukan maka saya yakin, masalah kesehatan mulai dari yang terkecil akan cepat ketahuan dan cepat dicari solusinya. Tentunya setiap kunjungan tim tersebut tidak hanya ngobrol dan bercanda saja, akan tetapi mereka dapat melakukan pemeriksaan kesehatan dasar dan membawa obat-obatan serta vitamin, termasuk mereka juga dapat membantu dalam pengurusan berkas asuransi atau formulir kesehatan. Jika ada masalah untuk dirujuk pada sarana layanan kesehatan, maka tim ini dapat mengantar langsung ke puskesmas atau RS terdekat.
Rangkaian layanan ini akan membuat suatu jaring pengaman kesehatan masyarakat yang kuat dan efektif. Kita tidak perlu merekrut tenaga baru, cukup kita berdayakan petugas dan kader kesehatan yang sudah ada, kalau toh akan ditambah sedikit tidak apa-apa, kita dapat merekrutnya dari tenaga dokter internship, dokter atau paramedis kontrak, dll. Belum lagi jika sistem ini dipadukan dengan sistem dokter keluarga, dapat dibayangkan efektifitas dan efisiensi yang didapatkan. Tentunya pekerjaan tidak habis sampai di sini. Tim ini harus mempunyai sistem terpadu dan terintegrasi dalam suatu garis komando dan garis koordinasi.
Oleh karena itu, saya mengusulkan perlu dibentuknya Badan Nasional Kesehatan Keluarga (BNKK), termasuk BNKK Daerah. BNKK ini dapat berada di bawah koordinasi Kemenkes atau bisa juga di bawah Kemenko PMK. Jika BNKK ini beroperasi dan terjadi sinergitas dengan institusi lainnya, maka saya yakin masalah kesehatan akan dapat diminimalkan termasuk pemetaan kasus serta kebutuhan layanan kesehatan mulai dari tingkat terkecil, yaitu keluarga.
Dengan demikian, penanganan kesehatan yang awalnya berorientasi kepada pengobatan penyakit, akan berpindah menjadi pencegahan mulai dari tingkat keluarga. Hal ini akan sangat memperkuat Ketahanan Nasional kita, serta kita tidak perlu kuatir dengan membanjirnya tenaga kesehatan dari negara lain, termasuk masuknya para dokter dan perawat asing pada era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Semoga.
James Allan Rarung
Pemerhati dan Praktisi Kesehatan