Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, banyak tokoh kemerdekaan berprofesi sebagai dokter, dan ikut berjuang mencapai kemerdekaan Indonesia dengan pemikiran dan tulisanya yang kritis, sehingga membuat gerah pemerintah Belanda di kala itu. Sebut saja diantaranya
Dr Cipto Mangunkusumo, seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia melalui tulisanya sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah Belanda. Dr Cipto bersama Suwandi teman seperjuangan menulis artikel untuk memboikot 100 tahun perayaan kemerdekaan Belanda di Indonesia. Hingga pemerintah Belanda pada saat itu memutuskan untuk membuang Dr Cipto bersama ke dua teman seperjuangan yaitu Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Dr. Wahidin Sudirohusodo adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas berdirinya organisasi tersebut.
Dr.Soetomo adalah tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, pada tanggal 22-25 September 1950 diselenggarakan Muktamar pertama Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) di Deca Park yang kemudian menjadi gedung pertemuan Kotapraja Jakarta. Dr. Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama dan di sepakati bersama tanggal 24 Oktober 1950 di tetapkan sebagai hari didirikannya IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
ERA ORDE BARU & REFORMASI
Memasuki masa Order Baru dan Order Reformasi tidak ada lagi aktifitas perjuangan yang di pelopori tokoh dokter di Indonesia. Walaupun begitu bukan berarti "Sistem Kesehatan di Indonesia" berjalan dengan baik dan dapat di terima oleh semua element pelaku di bidang Kesehatan & Kedokteran.
Banyak riak dan permasalahan yang selama ini tidak terangkat ke permukaan mulai mengganggu. Sekelompok dokter berinisiatif melakukan diskusi untuk membahas permasalahan permasalahan di bidang kedokteran dengan menggunakan facebook group. Maka pada tahun 2013 di bentuklah group "Dokter Indonesia Bersatu (DIB)" sebagai gerakan moral dokter Indonesia.
Awal terbentuk DIB sebagai wadah alternatif IDI dan mengkritisi secara konstruktif para pengurus IDI yg pasif dan hanya melakukan aktifitas diskusi online saja. Dengan adanya kasus Dr Ayu di tahun 2013 dan banyaknya permintaan dari rekan rekan sejawat untuk melakukan aksi demo nasinal, pada tanggal 27 November 2013 DIB mulai turun ke jalan melakukan demo nasional dokter Indonesia. Demo nasional dokter ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah kedokteran di Indonesia.
Tiga tahun kemudian DIB di undang oleh Komisi 9 DPR R.I, di dalam rapat tersebut salah satu anggota dewan menanyakan aspek legal (hukum) DIB. Mengenai aspek legal ini, sejak dari awal berdirinya DIB ada dua pendapat, yaitu :
1. Gerakan moral (tanpa status badan hukum/ tanpa bentuk organisasi)
2. Berbadan hukum/ berbentuk organisasi
Masing - masing opsi di dukung oleh sekelompok anggota DIB. Opsi berbadan hukum di motori oleh Dr Jamesallan Rarung, Dr Tedy Harto, Dr Patrianief dan Dr Erta. Setelah terjadi debat maka di sepakati untuk memilih opsi nomor satu yaitu tanpa badan hukum.
Permasalahan legalitas ini muncul kembali setelah DIB di undang rapat oleh Komisi 9 DPR R.I . Dr Jamesallan Rarung (kordinator DIB wilayah Sulut) berkeras ingin membentuk Perkumpulan dan memiliki badan hukum. Karena dengan berstatus badan hukum akan membuat sikap dan perbuatan organisasi dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan di akui oleh lembaga Pemerintah, sehingga berdampak suara organisasi akan didengar oleh pihak yang berkepentingan.
Saat itu tidak terjadi kesepakatan atau deadlock, karena pimpinan DIB (para kordinator) merasa cukup dengan gerakan moral tanpa harus perlu legalitas hukum. Deadlock terjadi di karena kan kekuatan yang mendukung opsi badan hukum dan opsi gerakan moral berimbang.
Karena DIB merupakan gerakan moral maka tidak ada jabatan Ketua, hanya ada kordinator nasinal dan kordinator daerah untuk wilayah masing masing. Para kordinator ini lah yang bertindak sebagai pimpinan.
Melihat kondisi deadlock, Dr Jamesallan Rarung, Dr Erta Priadi Wirawijaya, Dr Patrianief, Dr Tedy Harto dan Dr. Reno Yonora mendirikan Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) di Jakarta pada tanggal 18 Agustus tahun 2016. Dan di sahkan secara hukum dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-0075221.AH.01.07.TAHUN 2016 pada tanggal 6 Oktober 2016.
Selang beberapa lama setelah deadlock, Dr Jamesallan Rarung dkk (dr Erta & Dr. Andika Sitepu, Sp.JP) mendapatkan surat dari pimpinan DIB. Di dalam surat tersebut, DIB memutuskan untuk menghentikan Dr Jamesallan Rarung, Dr Erta dan Dr. Andika Sitepu.
Dampak dari pemberhentian Dr Jamesallan dkk membuat beberapa anggota DIB yang mendukung opsi Badan Hukum memutuskan untuk mengundurkan diri, diantaranya Dr Patrianief, Dr Restuti Saragih dan Dr Tedy Harto.
Setelah PDIB memiliki SK Menteri Hukum dan HAM perlahan lahan gerakan moral DIB mulai meredup dan para pimpinannya masuk dalam kepengurusan PB IDI.
Namun bukan berarti perjalanan PDIB berjalan mulus, Ketua Umum nya Dr Jamesallan Rarung dua kali dilaporkan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) karena PDIB di nilai bertentangan dengan IDI. Dalam pembahasan yang di lakukan oleh MKEK tidak di temukan kesalahan Dr Jamesallan Rarung karena AD/ART PDIB tidak bertentangan dengan IDI. Hal ini di sampaikan langsung oleh Prof. Dr. dr. Reggy Lefrandt, Sp.PJ (K), beliau adalah Ketua Bidang Kemahkamahan MKEK Pusat.
Tidak ada yang salah dengan DIB ataupun PDIB karena ke duanya berjuang untuk memperbaiki sistem kedokteran di Indonesia dan PDIB tetap mendukung IDI sebagai organisasi profesi dokter di Indonesia. Perbedaanya adalah jalan yang di tempuhnya berbeda cara. Hanya waktu dan konsistensi lah yang akan menentukan siapa yang dapat bertahan hingga kini.
Di tahun 2016 bidang kedokteran banyak mengalami gejolak, issu Dokter Layanan Primer menjadi topik yang hangat. Berdasarkan hasil Muktamar IDI ke 29 di Medan, IDI menolak "Porgram Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP)" karena dinilai mubazir bagi dokter dan DLP hanya akan memberatkan calon dokter. Dokter terus dituntut untuk sekolah, padahal setelah wisuda seharusnya mereka sudah bisa menerapkan ilmunya untuk masyarakat.
Issu DLP terus bergulir hingga akhirnya pecah aksi demo nasional dokter jilid ke dua ditanggal 24 Oktober 2016. Demo nasional ini di dukung sepenuhnya oleh IDI dan PDIB. Aksi demo nasional ini tidak hanya di lakukan di jakarta bahkan di setiap perwakilan IDI cabang di daerahnya masing - masing.
Di tahun 2017, intensitas politik di Indonesia terasa kental menjelang Pilkada DKI Jakarta. Dampaknya sangat terasa ke seluruh segment kehidupan masyarakat Indonesia tanpa kecuali dibidang kedokteran. Lahirnya Gerakan Moral Dokter Bhineka Tunggal Ika (DBTI) pada tanggal 1 Juni 2017 untuk meneguhkan kembali peran penting para dokter sejak awal berdirinya Indonesia.
Namun Gerakan Moral DBTI ini di khawatirkan dapat memicu reaksi dari kelompok dokter yang berbeda pendapat dan akan berdampak semakin terpolarisasinya kedokteran di Indonesia yang di sebabkan perbedaan pilihan politik masing - masing individu dokter. Seperti yang disampaikan oleh PDIB dalam press realesenya "Pengurus PDIB : Kami Bukanlah Bagian Dari Gerakan Dokter Bhinneka Tunggal Ika"
Untuk menjaga marwah profesi dokter Indonesia, pada tanggal 11 Juni 2017 PDIB merumuskan "Pancasatya Dokter Indonesia" dengan maksud untuk menegaskan bahwa dokter Indonesia adalah dokter yang ikut menjaga dan akan selalu setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui amal dan baktinya khususnya berfokus dalam dunia kesehatan dan kedokteran.