Baru-baru ini kita dihebohkan dengan kasus kematian bayi yang terjadi di salah satu RS swasta di Jakarta. Adapun nama bayi malang yang baru berusia 4 bulan tersebut adalah Deborah Simanjorang.

Kasus ini kemudian menjadi heboh setelah keluarnya berbagai pemberitaan di media massa, baik media online, media sosial, televisi, radio maupun media cetak. Hal ini karena dalam kesedihannya, ibu dari bayi Deborah yang bernama Henny Silalahi dan suaminya Rudianto Simanjorang mencurahkan segala isi hati mereka ke media massa. Tentu saja kejadian yang dialami mereka langsung menuai berbagai empati dari berbagai lapisan masyarakat.

Permasalahan yang diulang-ulang oleh sang ibu tentu saja adalah masalah ketidaksanggupan mereka menyetor uang muka di RS tersebut saat bayi mereka memerlukan perawatan lanjutan di "Paediatric Intensive Care Unit" (PICU). Oleh karena uang mereka tidak cukup, maka meskipun saat di instalasi gawat darurat (IGD) sudah ditangani dengan baik oleh dokter (dan menurut sang ibu memang diakui bahwa sang bayi sudah mengalami perubahan membaik setelah ditangani di IGD). Akan tetapi proses selanjutnya menjadi bencana bagi keluarga kecil tersebut, dalam proses alih rawat lanjutan mereka tidak dapat memenuhi prasyarat administrasi RS tersebut sehingga menurut sang ibu, maka akhirnya mereka mencari RS lain yang bisa menerima pasien JKN/ BPJS Kesehatan seperti mereka dan tidak dipungut biaya masuk ruang PICU tersebut (menurut versi RS, menyatakan bahwa pihak RS juga bersama-sama ikut mencari RS lain untuk merujuk sang bayi malang tersebut).

Sangat disayangkan bahwa dalam proses pencarian tersebut, meskipun setelah lebih dari 7 jam bersusah-payah mencari akhirnya ketemu RS yang bersedia menerima mereka, tapi sayang ternyata dalam observasi sambil menunggu dirujuk tersebut, sang bayi tercinta tiba-tiba mengalami kemunduran tanda-tanda vital sampai akhirnya meninggal sebelum dirujuk.

Kasus ini akhirnya meledak. Berbagai komentar baik yang membela pihak RS maupun yang menyalahkan, berseliweran di berbagai media bahkan sampai pada acara "talkshow" di televisi maupun radio. Di tengah berbagai komentar tersebut, tak lepas juga peranan dari dokter di RS tersebut disorot, ada yang ikut menyalahkan, namun tidak sedikit pula yang membela.

Berdasarkan berbagai berita yang beredar tersebut, ternyata didapatkan benang merah bahwa dokter sudah menangani sang bayi sampai stabil di IGD. Jadi jelas tidak ada pembiaran sampai di sini sejak pasien pertama kali masuk ke IGD RS tersebut. Yang jadi titik untuk dikritisi adalah waktu setelah pasien stabil dan memerlukan perawatan lanjutan dalam hal ini di ruang perawatan PICU. Meskipun RS tersebut memiliki PICU, tetapi untuk dapat dirawat di ruangan itu, keluarga pasien haruslah menyetorkan uang yang tidak sedikit sebagai uang panjar. Nah, pada titik inilah konflik mulai muncul, ternyata pihak keluarga tidak memiliki uang tunai ataupun kemampuan untuk membayar panjar tersebut yang memang mahal, karena perawatan di PICU tentu saja membutuhkan sarana dan obat-obatan yang tidak sedikit dan tidak murah. Pada titik ini sebenarnya tidak akan menjadi masalah jika RS tersebut telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, dimana keluarga tersebut adalah peserta JKN. Fakta berbicara lain, karena belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan maka tentu saja pihak RS tersebut akan menganggap semua pasien mereka adalah pasien umum, sehingga untuk perawatan lanjutan haruslah menyetor sejumlah uang untuk penjaminan biaya yang akan dikeluarkan oleh pihak RS selama perawatan pasien tersebut. Maka hal inilah yang dialami oleh keluarga bayi Deborah.

Akhirnya diputuskan akan dirujuk ke RS yang sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan memiliki PICU. Nah, pada saat inilah titik konflik kedua terjadi. Ya, dalam masa pencarian ini dimana memakan waktu 7 jam lebih (menurut berita yang beredar), meskipun akhirnya ketemu, namun beberapa saat sebelum dirujuk, kondisi sang bayi memburuk dan akhirnya meninggal.

Pada kedua titik konflik di atas tadi, posisi dokter sebagai profesi yang menjunjung tinggi Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran, mengalami dilema. Ya, sebagai tenaga profesional yang dituntut dengan standar tinggi (bahkan tertinggi) dalam hal menangani pasiennya, menemui tembok besar. Kenapa demikian? Meskipun telah menangani pasien saat masuk IGD sampai mengalami perbaikan, namun secara profesional dan keilmuan, dokter sadar bahwa pasien masih harus mendapatkan perawatan dan penanganan lebih lanjut. Tetapi pada saat inilah dokter juga sadar bahwa mereka bukanlah pemilik RS, mereka hanyalah tenaga profesional yang bekerja di RS tersebut yang tentu saja memiliki aturan main tersendiri. Benar, aturan main RS mengharuskan sebelum mendapatkan perawatan lanjutan, maka keluarga pasien harus membayar uang muka. Jika tidak sanggup, maka akan dirujuk ke RS yang lain. Apalah daya, meskipun secara keilmuan dan prosedur penatalaksanaan, dokter tersebut tahu dan sadar bahwa harus dilakukan penanganan lanjutan, akan tetapi aturan RS tidak bisa memenuhi hal itu sebelum ada jaminan uang muka yang harus diserahkan. Pada saat inilah keilmuan dan profesional dokter sekali lagi terbentur tembok besar, yang akhirnya setelah disepakati oleh keluarga, maka jalan alternatif diambil, yaitu dirujuk. Sayangnya proses pencarian tempat untuk menerima rujukan, memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga meskipun akhirnya ketemu tetapi sang bayi keburu meninggal. Bukan main perasaan dari sang dokter, pastilah bercampur aduk, entah itu apa saja. Tetapi sedikit banyak pasti adalah munculnya rasa penyesalan, berupa pertanyaan, "Andai saja....., andai saja........, dst.

Lalu siapakah yang harus menyelesaikan permasalahan ini? Siapakah yang harus bertanggungjawab? Tentu tidak bisa kita asal tuduh atau asal pukul rata. Permasalahan ini sangatlah kompleks dan memiliki banyak pihak yang terkait. Tapi tentu yang bisa mengambil langkah pertama adalah Pemerintah, karena merekalah pemegang otoritas yang dijamin konstitusi dan aturan perundang-undangan untuk mengatur, membenahi dan tentu saja "memerintah" negeri ini.

Pemerintah dalam hal ini otoritas kesehatan yaitu Kementerian Kesehatan harus mengambil komando dan langkah di depan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Tentu saja apapun langkah dari Pemerintah tidak akan bisa berhasil, apabila tidak didukung oleh pihak-pihak terkait dimana sudah barang tentu masyarakat atau rakyat Indonesia termasuk di dalamnya.

Ayo, marilah kita semua bersatupadu mencari asal-muasal darimana datangnya "air keruh" ini, kita harus mencari letak mata airnya jika kita mau menjernihkannya. Janganlah terlalu lama bertindak, sebab dengan membiarkan para dokter di simpang jalan atau mengalami dilema dan tembok besar, maka tentu saja yang akan menjadi korban adalah kita rakyat Indonesia.

Salam perjuangan!

James Allan Rarung
Dokter Indonesia

Artikel Terkait

  1. Arti dari dokter residen beserta problematikanya
  2. Ketika dokter memutihkan negeri
  3. Balada dokter puskesmas
  4. Inilah Hari Yang Bersejarah Bagi Dunia Kedokteran Indonesia
  5. Wajib Diketahui, UU Tentang Kesehatan Yang Mengatur Pasien Gawat Darurat