Diskusi Publik PB IDI pada tanggal 26 April 2017 dengan tema "DEFISIT DANA JKN" ANCAMAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DAN KEBERLANGSUNGAN PROGRAM JKN menjadi tidak menarik karena seperti yang sudah-sudah tidak bisa memberikan harapan perubahan yang lebih baik untuk rakyat. Jangankan berubah, itikad untuk memperbaiki JKN yang sudah berjalan 4 tahun sepertinya memang tidak ada. Mungkin acara yang diadakan PB IDI ini kalah penting dengan acara-acara lain yang bersamaan sehingga pihak yang diundang sebagai narasumber cukup mewakilkan pada pejabat yang tidak memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk menjawab permasalahan. Pemerintah dan BPJS seakan kompak menghindari forum diskusi dengan dokter yang notabene merupakan pelaksana langsung JKN. Kalau sekedar menampung masalah dan usulan mungkin sudah basi dilakukan saat ini karena kerawanan JKN telah mencapai titik kulminasi dimana dokter menjadi pihak yang terjepit dan harus menghadapi rakyat sebagai pengguna program dengan segala keterbatasan.

Dalam paparan PB IDI yang disampaikan oleh Dr. Noor Arida (Ketua Bidang JKN PB IDI) telah cukup jelas menggambarkan permasalahan terkait dengan data dan fakta. Keberhasilan JKN tidak semata ada di tangan profesi dokter namun keselamatan pasien serta upaya untuk memberikan pelayanan medis yang terbaik akan selalu menjadi tanggung jawab utama seorang dokter. Bahwa PELAYANAN KEDOKTERAN YANG SUBSTANDAR telah terjadi di era JKN akibat pemaksaan sepihak dengan alasan kendali mutu dan kendali biaya. Prinsip-prinsip kedokteran yang memegang teguh etika profesi dan berlandaskan Evidence Base Medicine telah diinjak-injak oleh sebuah program kesehatan nasional yang lebih bernuansa politis, tentu yang dirugikan pada akhirnya adalah rakyat Indonesia.

Kemanfaatan JKN yang dipropagandakan dengan masif bahkan katanya didukung oleh penelitian yang menggambarkan tingkat kepuasan rakyat tidak dapat menutupi fakta secara makro bahwa terjadi kemunduran yang signifikan dalam dunia kedokteran di Indonesia. Angka kematian ibu dan bayi yang tidak menurun, tingginya beban penyakit katastrofik serta berbagai parameter lainnya cukup sebagai bukti kegagalan pemerintah menjalankan amanah di bidang kesehatan.

BPJS selalu berdalih tidak memiliki wewenang dalam banyak hal namun yang terlihat justru seperti asuransi swasta pada umumnya, bagaimana mencegah/ mengurangi defisit termasuk meningkatkan kolektibilitas iuran. Tidak terlihat sama sekali perhatiannya pada upaya mempertahankan kualitas pelayanan kedokteran/ kesehatan, prinsip kendali mutu-kendali biaya berorientasikan murni pada prinsip ekonomi "bandar ngga boleh rugi !".

Pemerintah terlihat asyik dengan filosofi-filosofi tanpa implementasi. Besar keinginan tapi lemah upaya. Bagaimana mungkin dengan keterbatasan anggaran serta komitmen politik yang rendah dapat mewujudkan jaminan sosial di bidang kesehatan ? Yang terjadi saat ini justru Politisasi JKN dengan mengorbankan kepentingan rakyat serta profesionalisme dokter. Tidak cukup hanya dengan retorika untuk menjalankan jaminan kesehatan nasional bahkan defisit anggaranpun bukan hambatan jika orientasinya memang untuk rakyat. Yang selalu dikuatirkan pemerintah adalah bagaimana keberlangsungan program JKN bukan apakah JKN telah berjalan sebagaimana mestinya ! Akibat JKN hanya dilihat dari orientasi politik dan kemanfaatan ekonomi maka segala cara ditempuh termasuk bongkar pasang peraturan sekedar mempertahankan program. Sikap terburu-buru mencapai universal coverage pada akhirnya akan menjadi pil pahit bagi semua pihak. Tidak ada yang diuntungkan dengan JKN Yang AMBURADUL selain politisi busuk dan kaum kapitalis yang menuai keuntungan akibat ketidakpercayaan publik terhadap sistem kesehatan nasional.

Dokter pada akhirnya menjadi benteng terakhir yang harus melindungi keselamatan pasien, ketika semua pihak termasuk pengelola Faskes (fasilitas kesehatan) cuma bisa diam, bertahan tanpa sikap yang jelas. PERSI sebagai pihak yang semestinya turut menjaga pelaksanaan JKN tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah kedokteran serta mengutamakan keselamatan pasien ternyata hanya bisa menjadi penonton di pinggir lapangan, mau tidak mau dan suka tidak suka profesi dokter harus mengambil sikap tegas untuk MENOLAK PELAYANAN KEDOKTERAN YANG SUBSTANDAR dan MENOLAK KETERLIBATAN DALAM UPAYA FRAUD YANG DILAKUKAN DENGAN ALASAN APAPUN. Cukuplah dokter menjalankan tugasnya dengan baik, menjaga integritas diri dan sikap profesionalisme. Berpegang teguh pada hati nurani dan etika profesi serta mengutamakan keselamatan pasien. Sudah saatnya DOKTER BERSIKAP TEGAS dan sudah saatnya RAKYAT HARUS TAHU APA YANG SEBENARNYA TERJADI DENGAN JKN. Jangan sampai JKN pada akhirnya menjadi KEBOHONGAN PUBLIK yang tidak pernah terselesaikan.

27 April 2017
Agung Sapta Ad