Di antara semua jenis kanker, kanker serviks merupakan penyakit kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi kita semua karena penyakit ini dapat mengenai siapa saja tanpa memandang usia dan golongan sosial. Mungkin kita masih ingat dengan berita kematian Yuli Rahmawati alias Julia Perez akibat kanker serviks. Artis kenamaan Indonesia tersebut telah mengembuskan nafas terakhir pada bulan Juni silam di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) setelah sempat berjuang selama hampir 3 tahun melawan kanker di tubuhnya.
Kejadian ini hendaknya menjadi contoh bagi setiap wanita untuk mengenal penyakit kanker serviks dan mencegahnya sejak dini. Namun di tengah banyaknya informasi yang beredar di internet dan media sosial, kita harus jeli dan mampu memilah berbagai informasi yang kita terima. Tidak semua informasi yang kita terima dapat dipercaya. Berikut adalah beberapa contoh mitos yang sering ditemui di masyarakat
1. Penyebab Kanker Serviks
Banyak sekali pandangan salah mengenai penyebab kanker serviks, seperti: penyebabnya yang belum diketahui, hanya menyerang mereka yang berperilaku seksual berisiko, ataupun hanya pada mereka yang mempunyai riwayat kanker serviks di keluarga. Semua ini tidaklah benar. Kanker serviks sudah diketahui penyebabnya. Penelitian menemukan bahwa 99,7 persen kanker serviks disebabkan oleh Human papillomavirus atau HPV. HPV adalah satu golongan virus,di mana terdapat lebih dari 100 jenis HPV. Sebagian besar penularan HPV terjadi akibat adanya sentuhan langsung kulit ke kulit dengan pengidap. Demikian pula dengan benda yang terkontaminasi virus HPV.
Lantas apakah jika kita tertular HPV kita pasti akan menderita kanker serviks? Tidak juga.
Pertama, sebenarnya pada kebanyakan kasus sel imun kita dapat membersihkan infeksi virus ini dari tubuh kita dalam waktu sekitar 6 bulan hingga 2 tahun. Namun pada beberapa wanita, mekanisme pembersihan ini tidak berlangsung baik, dan dengan berlalunya waktu virus HPV ini dapat menyebabkan perubahan abnormal sel di serviks.
Kedua, sebenarnya tidak semua HPV dapat menyebabkan kanker. Ada beberapa jenis HPV yang berbahaya, seperti HPV 16 dan HPV 18. Kedua jenis virus ini bila mencapai leher rahim berpotensi besar memicu terjadinya kanker serviks. Virus HPV tersebut umumnya menyebar ke mulut rahim melalui hubungan seksual, di mana terjadi kontak langsung antara kulit kelamin, membran mukosa, atau pertukaran cairan tubuh, dan melalui seks oral.
Selain itu, sebenarnya setelah memulai hubungan seksual, diperkirakan terdapat lebih kurang 30 persen wanita akan terinfeksi HPV. Artinya semua wanita berisiko terkena kanker serviks. Tentu risiko ini lebih tinggi pada mereka yang berganti-ganti pasangan seksual, namun tidak berarti bila anda hanya setia pada satu pasangan anda tidak dapat tertular. Juga tidak berarti bila anda menderita kanker serviks artinya pasangan anda sekarang pasti yang menularkannya.
Faktanya virus HPV dapat tinggal dalam tubuh tanpa menunjukkan gejala apapun dalam hitungan tahun. Dengan kata lain, sulit untuk memastikan sejak kapan seseorang mengidap kanker serviks, apakah ditulari pasangan yang sekarang atau sebelumnya.
2. Gejala Kanker Serviks
Banyak wanita percaya bahwa bila ia tidak mengalami gejala apapun, maka ia tidak menderita kanker serviks. Hal ini tidaklah benar. Jangan pernah menunggu kanker serviks hingga bergejala. Infeksi HPV pada tahap awal tidak menimbulkan gejala apapun. Itulah mengapa skrining kanker serviks sangat penting pada mereka yang sudah aktif melakukan hubungan seksual. Gejala-gejala yang umum dijumpai seperti pendarahan setelah berhubungan seksual atau di antara masa menstruasi, keputihan berbau terus menerus umumnya hanya akan ditemukan setelah sel abnormal telah menjadi kanker serviks.

3. Pencegahan Kanker Serviks
Mungkin kita semua sudah sering mendengar tentang vaksin kanker serviks? Namun tahukah kita kapan sebaiknya vaksin ini diberikan? Banyak yang beranggapan vaksin ini hanya diberikan pada mereka yang sudah menikah atau sudah melakukan hubungan seksual. Hal ini adalah pandangan yang salah.
Central of Disease Control (CDC) Amerika Serikat menganjurkan pemberian vaksin kanker serviks telah diberikan sejak pada masa remaja yaitu 11-12 tahun. Vaksin kanker serviks ini diberikan 3 dosis, dimana vaksin kedua diberikan satu atau dua bulan setelah vaksin pertama. Lalu, vaksin ketiga diberikan 6 bulan setelah vaksin pertama. Sementara pada mereka yang sudah menikah atau sudah berhubungan seksual, perlu dilakukan Pap smear untuk memastikan tidak ada indikasi lesi pre kanker, atau kanker serviks sebelum dilakukan vaksin HPV.
Selain itu, vaksin HPV pada dasarnya bukan melindungi 100% seseorang dari kanker serviks. Artinya, meski telah divaksin anda masih tetap dapat menderita kanker serviks, meski tentu resikonya akan jauh berkurang dengan pemberian vaksin ini. Dengan demikian, anda tetap perlu menghindari semua perilaku berisiko untuk kanker serviks seperti: berganti-ganti pasangan seksual, hubungan seksual di usia dini (dibawah usia 20 tahun), merokok, dan sebagainya.
Mitos lain seputar vaksin HPV yang beredar di masyarakat adalah bahayanya. Ada yang mengatakan vaksin ini malah dapat memicu kanker, atau menyebabkan terjadinya kemandulan. Hal ini adalah mitos.
Vaksin HPV ini telah diuji klinis sebelum dikeluarkan ke pasaran, dan bahkan pemantauan dan penelitian vaksin HPV yang terus dilakukan oleh berbagai organisasi kesehatan dunia sejak tahun 2006. Hasilnya, vaksin HPV memiliki catatan keamanan yang sangat baik tanpa bukti bahwa hal itu menyebabkan masalah reproduksi pada wanita. Vaksin ini juga tidak menyebabkan terjadinya kanker, karena yang dimasukkan ke dalam tubuh bukanlah virus atau virus yang dilemahkan. Vaksin ini terbuat dari partikel kecil yang mirip dengan komponen luar dari kuman HPV. Ketika kamu mendapat vaksin, akan terbentuk antibodi sehingga ketika kamu terpapar, antibodimu akan melawan kuman HPV tersebut.
4. Deteksi Dini Kanker Serviks
Pernah mendengar Pap smear? Tahukah anda bahwa setiap wanita yang sudah aktif menjalani hubungan seksual perlu menjalani pap smear? Banyak yang mengira pap smear hanya dibutuhkan pada mereka yang sudah berusia 40 ke atas karena kanker ini jarang terjadi pada dewasa muda. Hal ini salah, meski perkembangan kanker serviks sampai bergejala bisa memakan waktu tahunan, namun jika dideteksi dini sebelum menjadi kanker dengan pap smear, kemungkinan kesembuhan sangat besar.
Anda juga tetap disarankan menjalani pap smear meski sudah mendapat vaksin HPV, karena vaksin tidak memberi perlindungan 100%. Vaksin HPV hanya memberi perlindungan pada beberapa strain virus penyebab kanker serviks yang paling umum, namun tetap saja ada strain HPV lain yang meski lebih jarang juga dapat memicu perubahan sel pada serviks.
Pap smear merupakan sebuah tes yang dapat memeriksa keadaan sel-sel pada serviks (leher rahim) dan vagina. Pada saat melakukan pap smear, dokter akan mengambil sampel sel-sel dari serviks dengan spatula (seperti sendok kecil bertangkai panjang) plastik dan sikat kecil. Sel-sel tersebut kemudian dikirim ke laboratorium untuk diuji untuk melihat apakah terdapat perubahan sel-sel abnormal atau terdapat sel-sel pre kanker dan kanker. Pap smear sebaiknya dilakukan setiap tiga tahun untuk wanita berusia 21 – 65 tahun. Untuk wanita berusia 30 – 65 tahun yang dinyatakan negatif mengidap HPV, disarankan melakukannya setiap lima tahun.
Hasil tes Pap smear yang positif tidak berarti pula bahwa anda sudah menderita kanker serviks. Perubahan sel-sel bisa disebabkan berbagai macam hal selain kanker seperti karena infeksi dan keputihan abnormal. Sel abnormal yang ditemukan belum tentu mengarah kepada kanker. Bila meragukan, biasanya dokter dapat mengonfirmasi hasil pemeriksaan dengan kolposkopi/ biopsi untuk mengambil sampel dari leher rahim. Dokter juga terkadang akan menyarankan untuk mengulang tes 4-6 bulan kemudian, tergantung kepada jenis sel yang ditemukan.
5. Pengobatan Kanker Serviks
Penanganan dasar untuk kanker leher rahim pada dasarnya adalah dengan salah satu atau kombinasi dari operasi, kemoterapi, dan radiasi. Namun, tidak semua kanker perlu dikemoterapi, dan tidak semua penderita kanker serviks ini perlu menjalani pengangkatan seluruh rahim.
Seorang penderita kanker serviks penanganannya akan sangat bergantung pada tingkat keparahannya ketika terdeteksi. Jika terdeteksi pada stadium awal, atau bahkan ketika sel abnormal belum berubah menjadi kanker angka kesembuhan sangat tinggi. Pada kondisi yang masih memungkinkan pula, bisa hanya dilakukan prosedur seperti servisektomi atau trakelektomi, yaitu prosedur mengangkat leher rahim tanpa mengikutsertakan rahim, sehingga pasien yang menjalaninya tetap dapat mengandung.
Tentu pada tahap lanjut, yakni stadium III atau IV, pengobatan yang tersedia hanya kemoterapi dan radiasi dan angka harapan hidup juga semakin menurun dengan perburukan stadium penderita kanker serviks. Dengan demikian adalah penting sekali untuk selalu bersikap waspada untuk mencegah kanker serviks, mendeteksinya secara dini dan menjalani pengobatan segera ketika terdeteksi menderita kanker serviks.
Apakah ini artikel favorite kamu? Ikuti Quiznya dan dapatkan hadiah menginap 2 malam di villa jimbaran bali
Quiz Doktersiaga Award