Mungkin sebagian besar masyarakat tidak mengerti ataupun mungkin tidak paham, kenapa dokter dokter Indonesia pada tanggal 24 Okt 2016 turun ke jalan untuk melakukan "Aksi Damai Dokter Indonesia". Bukankah dokter dokter selama ini sudah memiliki oraganisasi ataupun lembaga yang menampung aspirasi mereka? Lalu kenapa mereka melakukan aksi itu?
Jika ada dokter yang melakukan aksi damai, artinya mereka telah melakukan segala upaya melalui jalur resmi dan menemui dinding terjal yang sulit mereka tembus. Dengan melakukan aksi damai artinya mereka ingin memberitahu masyarakat bahwa "ada masalah dengan profesi dokter di Indonesia".
Lalu apa masalah yang sedang di hadapi oleh Dokter Dokter Indonesia?. Berdasarkan hasil Muktamar IDI ke 29 di Medan, IDI menolak "Porgram Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP)" karena dinilai mubazir bagi dokter dan DLP itu hanya akan memberatkan calon dokter. Dokter terus dituntut untuk sekolah, padahal setelah wisuda seharusnya mereka sudah bisa menerapkan ilmunya untuk masyarakat.
Di butuhkan minimal empat tahun bagi mahasiswa kedokteran untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran. Setelah kuliah empat tahun, tidak dapat langsung bekerja tapi harus menjalani masa koasisten selama dua tahun. Setelah itu, dilanjutkan setahun menjalani uji kompetensi lalu menjalani setahun interensif, baru dapat menjalankan pekerjaan profesi praktik kedokteran. Jadi total waktu yang di butuhkan oleh seorang dokter dari mulai belajar sampai dapat melakukan praktik kedokteran adalah selama 7 tahun. Di tambah lagi jika harus mengikuti program DLP yang membutuhkan waktu 3 tahun jadi total waktu 10 tahun.
Memang betul program DLP saat ini hanya pilihan bagi dokter, tetapi berdasarkan penjelasan pasal 8 UU no 20 tahun 2013, kedepannya pelayanan di Rumah Sakit, Klinik, Puskesmas hanya dilakukan oleh spesialis DLP. Konsekuensi hukumnya jika ada dokter umum yang melakukan layanan primer di masa depan bisa ditangkap oleh aparat penegak hukum.
Di lihat dari sisi biaya, program DLP akan memboroskan anggaran negara. Untuk satu DLP dibutuhkan biaya sebesar Rp 300 juta. Untuk menghasilkan 1.000 DLP, pemerintah harus merogoh anggaran Rp 300 miliar. Jumlah yang sangat fantastis. Alangkah bijaknya jika dana tersebut di alihkan untuk subsidi pendidikan kedokteran di Indonesia. Asumsi biaya pendidikan seorang calon dokter untuk menyelesaikan kuliahnya adalah sebesar Rp 500jt. Dengan anggaran Rp 300 miliar tentunya dapat menghasilkan 1000 dokter baru.
Selain memakan waktu belajar lebih lama, biaya yang di tanggung calon dokter akan membengkak dan dampaknya adalah biaya berobat akan semakin mahal. Tentu saja hal ini sangat merugikan masyarakat.
Penulis : Fatah Iskandar Akbar - Founder Doktersiaga.com