Kami dokter indonesia memang ditakdirkan seolah olah menjadi sumber masalah dinegara ini. Stereotipe kami memang sudah dibentuk dan tertanam seperti itu. Entah sejak kapan itu mulai, kami tidak tahu dan tidak paham. Mungkin saja sejak jaman penjajahan. Pada tahun 1944, Direktur Lembaga Eijkman dr. Achmad Mochtar disalahkan atas tragedi kematian 900 romusha yang disuntik dengan sejenis cairan vaksin eksperimen Jepang, dan untuk menutupi kesalahan eksperimen penjajah Jepang karena ada ancaman kejahatan perang jika hal itu terbongkar, maka dr Achmad Mochtar dikorbankan dengan jalan disalahkan dan di hukum mati dengan jalan dipancung dan tidak cukup hanya itu konon katanya sesudah dipancung jasad beliau digilas dengan mesin giling.

Sampai saat ini takdir seperti itu terus berlanjut. Jika ada pasien yang tidak tertangani dirumah sakit dan tidak bisa dioperasi, dan pasien mengadu ke media massa maka para petinggi termasuk wakil kami, wakil rakyat juga bahkan seorang dokter akan datang kerumah sakit, menanyakan dokternya kenapa pasien sampai sekarang belum ditangani. Akan muncul di media massa dan media sosial bahwa dokter di RS A atau apapunlah namanya menelantarkan pasien. Padahal masalah pada pasien itu bisa saja penjaminannya yang belum selesai, atau ketersediaan tempat di RS tersebut terbatas, atau fasilitas di RS tersebut tidak memadai. Masalah manajemen akhirnya dibebankan kepada dokter, gampang memang menuduh dokter.

Jika ada pembiayaan mahal di suatu RS, maka kembali yang disorot adalah dokter. Dokter jangan menerapkan tarif mahal mahal. Dokter jangan mengambil keuntungan dari pasien, dokter jangan mengeruk keuntungan diatas penderitaan pasien. Muncul di media massa dan media sosial hujatan kepada dokter. Padahal tarif disuatu RS ditentukan oleh manajemen RS, apalagi di RS Pemerintah dan di RS Swasta yang melaksanakan asuransi sosial BPJS. Tak ada pengaruh dokter dalam menentukan jasa. Yang paling menentukan adalah manajemen RS dan saat ini yang punya kuasa mutlak adalah tarif BPJS yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Ayo, dimana salahnya dokter?.


Join Doktersiaga Community


Jika ada pasien yang meninggal di RS, jika ada keluarga yang membawa kedia massa atau media sosial dan membawa ke jalur hukum, maka yang salah adalah dokter lagi. Padahal mungkin saja obat yang disuntikkan tersebut bermasalah seperti obat yang digunakan untuk anestesi spinal dan menyebabkan kematian pasien yang dianastesi. Atau kalau masih ingat kita gas oksigen yang tertukar oleh petugas di salah satu RS kalau tak salah di bengkulu sehingga menyebabkan kematian pasien. 

Yang salah bukanlah pabriknya, atau petugas yang salah mengisi gas. Tetapi paling gampang memang menuding dokter lagi. Mana ada dokter yang ingin pasiennya meninggal. Tidak ada yang memprediksi bagaimana hasil pengobatan seorang dokter, karena seorang dokter bukanlah malaikat, mereka hanya bisa berusaha. Tuhanlah yang menentukan.

Kan dokter dapat jasa pelayanan ?. Ketahuilah bahwa jasa pelayanan itu digunakan dan dibagi untuk semua pihak termasuk untuk membiayai rumah sakit apalagi di RS swasta, menggaji satpam, menggaji cleaning service, menggaji perawat, menggaji bidan, menggaji manajemen, bahkan menggaji direktur. Tetapi jika ada masalah dan sampai keranah hukum maka korbannya sebagian besar dokter, yang malpraktek adalah dokter. Jasa pelayanan digunakan dan dibagi bersama sama, tetapi resiko pelayanan ditanggung sendiri. Tragis sekali

Jika mau pemilihan kepala daerah maka dokter juga yang menjadi korban. Kesehatan memang jualan yang paling gampang. Maka calon kepala daerah berjanji kepada masyarakatnya bahwa pengobatan di Puskesmas dan di RS akan berlangsung 24 jam dan gratis . Gampang memang mengucapkannya, tanpa pernah mengingat bahwa dokter itu juga adalah manusia biasa yang perlu istirahat seperti orang lain. Perlu juga menyediakan waktu buat istri atau suami dan anak anak dirumah. 

Bahkan ada calon kepala daerah yang menjanjikan pengobatan sampai kedepan pintu rumah masyarakatnya. Tragis memang. Entah dia sendiri akan duduk dan berdiam dikantornya selama 24 jam. Gampang memang mengorbankan dokter. Tetapi jika mereka terpilih sebagai kepala daerah, maka pelayanan kesehatan akan menjadi sumber pendapatan asli daerah, sehingga banyak RS di daerah yang menderita seperti baru baru ini RS Taluk Kuantan di Riau yang tidak bisa memberikan pelayanan karena dana yang ada disetor ke kas pemda dan karena kesalahan penganggaran dana untuk RS tidak mencukupi.

Berikutnya lagi, pegawai lain boleh liburan pada saat hari raya, maka ada pengumuman khusus untuk tenaga medis harus ada jaga 24 jam. Maka berbagi tugaslah mereka untuk mengatur pelayanan supaya mempunyai waktu sedikit untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga. Tragis jika tak ada tempat berbagi jika dokter sedikit maka dia akan bertugas 24 jam. Adakah kita semua paham bahwa mereka sama seperti yang lain perlu bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat. Bahkan suatu lembaga mengeluarkan pengumuman nama nama RS yang buka 24 jam pelayanan, walaupun lembaga tersebut bukan atasan RS, tragis memang.

Sudah banyak bukan, tapi masih banyak yang lain. Disaat pegawai negeri lain bertugas 40 jam seminggu, maka kami bertugas 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 30 hari sebulan. Wajib mengambil absensi pagi seperti pegawai lain, wajib absensi pulang. Jika masuk terlambat maka dihitung sebagai kurang masuk, jika pulang terlambat tidak dihitung sebagai kelebihan kerja. Tidak tahu mereka bahwa sang dokter terlambat masuk karena baru pulang dinihari menolong pasien. 

Jika masuk hari libur menolong pasien itu hal biasa dan tidak dihitung sebagai kelebihan jam kerja. Tidak tahu mereka bahwa si dokter dijadwalkan operasi jam 11 malam di RS tersebut sehingga tidak lagi konsentrasi ,dan manusiawi sebetulnya jika tidak masuk hari berikutnya. Tetapi itu tidak berlaku bagi kami. Kami akan ditegur untuk kesalahan terlambat masuk dan ketidak hadiran dan akan mengurangi kinerja kami. Beda dengan petugas lain. Masuk pagi pulang sore, teratur dan tak bekerja diluar jam kerja. Tragis memang.

Cukup banyak bukan, tetapi itu masih kurang. Jika ada dokter yang bertugas disuatu daerah sulit dan terpencil, maka mereka akan susah keluar dari sana dengan alasan tenaga dokter sangat diperlukan. Untuk pindah dari daerah tersebut maka mereka akan berusaha dengan segala cara, bahkan ada yang sampai berhenti menjadi pegawai agar dapat pindah kekota dan menyekolahkan anaknya sehingga mendapatkan pendidikan yang lebih baik. 

Manusiawi sekali, tetapi dokter dianggap wajar dan seharusnya mengabdi didaerah sulit. Untuk itulah dokter dididik katanya. Jika ada dokter yang akhirnya berhenti dan pindah, maka akan ada yang berkata bahwa si dokter tidak nasionalis. Tragis memang jika rasa nasionalis hanya diukur dengan kemauan bertugas didaerah terpencil, dan jika dikerjakan akan sulit keluar dari daerah tersebut.

Sudahlah, cukup banyak itu. Tetapi sungguh masih banyak lagi yang lain. Jika kualitas pelayanan rendah dan indikator indikator pelayanan kesehatan masih susah bergerak membaik, maka lagi lagi dokter juga yang disalahkan. Kirim dokter ke daerah sulit. Pakaikan atribut atribut yang meningkatkan rasa nasionalis, latih mereka dengan cara semi militer. Gak usah dipaksa paksa, sudah sejak lama sekali banyak dokter yang mengabdi didaerah sulit dengan gaji alakadarnya. Banyak dokter yang berkorban pada masa mudanya dengan pergi kedaerah sulit, perbatasan dan terpencil serta bermasalah.

Coba saja sekarang, cermati gaji dokter yang dikirim dengan nama program “nusantara sehat”, gaji mereka lebih kecil dari pendapatan pengemudi bus trans jakarta. Lagi lagi dokter yang menjadi sumber rendahnya mutu pelayanan kesehatan. Sudah cukup?, belum, tambah lagi pendidikan dokter. Buat profesi baru lag untuk bertugas di pelayanan primeri. Lagi lagi dokter juga dianggap akar masalah kualitas pelayanan kesehatan nyang rendah. Gampang memang menimpakan masalah pada dokter.

Dokter dengan lama pendidikan dan proses lain lain paling cepat tujuh sampai delapan tahun baru bisa berpraktek sebagai dokter dan digaji sama dengan profesi lain. Kenapa?, akan timbul kecemburuan jika pendapatan mereka dinaikkan. Bisa berdemo profesi lain. Alasan yang terlalu dicari cari untuk tetap mempertahankan dokter indonesia pada posisi susah. Memang paling mudah menekan dokter.

Cukupkan?. Masih banyak lagi, iklan dari BPJS tentang anak yang dibawa orang tuanya berobat kedokter akibat mercon. Bukan dokter yang menentukan jika korban mercon tidak ditanggung BPJS, tetapi BPJS lah yang membuat aturan tersebut. Digambarkan bahwa dokter yang memberi penjelasnnya. Tragisnya lagi ditambah dengan keterangan jika membeli mercon jangan lupa sediakan uang untuk berobat. Mana ada dokter yang berbicara begitu kepada pasien. Mau korban mercon, mau korban bom, mau korban kecelakaan akan ditolong oleh dokter. Pembiayaan bukan tugas dokter. 

Yang lebih menyedihkan karikatur itu dibuat oleh dokter dokter muda yang katanya sedang internship, kenapa sedih?. Mereka menganggap bahwa itulah tugas mereka sebagai dokter, kemampuan sosialisasi BPJS luar biasa sehingga bisa sebagian dokter beranggapan itu tugas mereka. Tragis sekali memang. Dan yang membuat mata saya berlinang, karakter dokter digambarkan dengan tengkorak. Tragis dan selesai hanya dengan ucapan maaf.

Masih belum cukup teman teman. Vaksin palsu yang beredar, dokter dan paramedis juga yang salah. Ada lembaga yang tugasnya mengawasi peredaran obat dan makanan di negara ini, kenapa bukan dia yang disalahkan, kenapa harus kami lagi yang disalahkan dan didemo. Mana ada dokter yang sengaja memberikan vaksin palsu ke pasiennya. Rantai distribusi yang bermasalah, dokter juga yang menanggung kesalahan.

Akan tiba saatnya mungkin akan ada yang berteriak bahwa dokter indonesia ini tidak berkompetensi dan kurang rasa nasionalisnya sehingga perlu diimpor dokter dari luar dengan biaya yang cukup besar. Mungkin saja, kenapa tidak. Kita memang suka segala sesuatu yang berbau impor, sehingga barang barang dalam negeripun diberi nama nama yang seolah olah merupakan barang impor. Banyak yang lebih suka apel washington ketimbang apel malang, lebih suka sapi impor dari sapi lokal, lebih suka durian “musang king” ketimbang durian lokal. 

Selengkapnya : Mana ada yang mau membuat mobil lokal, gampang, ambil saja barang buatan luar negeri, buat dinegeri ini dengan kandungan lokal diatas sekian persen, itu kan sudah lebih dari buatan lokal. Berapa banyak mobil dan motor jepang bersiliweran, hitung saja, berapa royalti mereknya saja, gak usah hitung komponen impor. Berapa banyak yang kita kirim ke negara jepang tersebut. Kita memang penggila merek luar negeri, bayangkan saja jika nanti banyak dokter impor, gak peduli orang soal bayaran. Antrian pasti akan panjang.

Akhirnya dokter indonesia juga menjadi masalah bagi organisasi profesinya. Jika ada dokter yang melakukan aksi damai untuk membela profesi maka akan keluar pernyatan dari organisasi profesi, “itu bukan dari kami, itu diluar tanggung jawab kami , dan itu mereka lakukan atas nama pribadi”, dan keluarlah himbauan dari petinggi petinggi kami yang merasa akan disulitkan jika ada stafnya yng demo agar tidak ikut aksi damai. “Kalaupun mau melakukan , lakukan saja di RS” . Dokter menjadi masalah bagi petinggi petinggi organisasi profesi, karena mereka tidak ingin diberi cap ekstrim dan mungkin saja mereka ingin dilirik untuk menjadi pejabat yang lebih tinggi.

Tanggung jawab kita bersama untuk mempertahankan profesi ini, karena kekuatan dan kesehatan sumber daya manusia di negara ini ditentukan oleh dokter bersama sama dengan profesi kesehatan lainnya. Tanggung jawab negara ini agar profesi ini tetap dilirik dan dijadikan pilihan bagi generasi generasi muda yang cerdas agar bangsa ini lebih baik kedepannya. 


Jakarta, 15 Juli 2016. 

Patrianef


Artikel Terkait

  1. Arti dari dokter residen beserta problematikanya
  2. Balada Dokter Puskesmas
  3. Ketika Dokter Memutihkan Negeri
  4. Dokter Rakyat Masih Kah Ada?